Afif Kurniawan (Kiri) bersama dengan Match Analyst Persebaya,Noor Arief (Kanan) pada laga Borneo FC vs Persebaya di Stadion Segiri, Samarinda. (Persebaya)

Sepakbola dan Pendidikan, Kombinasi Yang Saling Melemahkan(?)

oleh:

Afif Kurniawan, M.Psi., psikolog

 

Pertanyaan yang kerap berujung pada perdebatan tersebut seringkali saya dapatkan di sela-sela aktivitas saya sebagai akademisi serta staf pelatih bidang psikologi dari Persebaya. Tidak ada yang salah dari perdebatan tersebut. Nyatanya kita memang sulit menemukan dimana irisan pastinya. Sederhananya seperti ini:

(1) Apakah pendidikan sekolah/kuliah dapat meningkatkan kualitas bermain seorang atlet sepakbola?

(2) Apakah pemain sepakbola yang juga bersekolah/kuliah dapat menyelesaikan studi tepat waktu tanpa kendala?

(3) Apakah pemain sepakbola perlu pendidikan formal?

Belum ada jawaban yang sangat pasti akan hal tersebut.

Saat ini, kita banyak mendengar istilah tentang konsep student athlete. Tanggung jawab utama dari seorang student athlete adalah belajar. Belajar dalam konsep student athlete adalah capaian dalam bidang akademis. Bidang pendidikan. Dimana bidang akademis identik dengan pencapaian prestasi, yang dalam prosesnya membutuhkan kerja keras, tanggung jawab, kejujuran, dan kemauan untuk mengembangkan diri.

Uniknya, banyak dari tim olahraga yang mengembangkan konsep student athlete memasukkan nilai-nilai diatas juga sebagai nilai dalam tim. Mari sejenak kita intip bagaimana nilai-nilai akademis tersebut sangat terlihat pada beberapa cabor yang dipertandingkan dalam liga-liga pelajar, mulai dari level SMP hingga Kuliah. Banyak dari tim memasukkan nilai karakter dalam tim-nya. Bisa kita lihat dari beberapa jersey pemanasan mereka yang bertuliskan: hard work, pride, responsibility. Bahkan salah satu Liga Mahasiswa yang sudah berjalan beberapa periode di Indonesia menegaskan bahwa mereka memiliki 3 pilar: Academic – Characteristics – Social Responsibility.

Kembali ke pertanyaan awal. Lantas, bagi pemain sepakbola profesional, masih perlukah academic skills?

Dalam konteks ini, pemahaman kita akan belajar dan pendidikan-lah yang harus diperluas. Saya pribadi lebih suka menggunakan istilah ber‘wawasan’ dalam mendeskripsikan keterampilan penyelesaian masalah alih-alih menggunakan istilah pintar.

Belajar, secara makna adalah proses dimana seseorang merespon suatu stimulus yang diberikan, dan mendapatkan pemahaman yang baru atas pengalaman tersebut. Keluasan wawasan seseorang bergantung seberapa banyak proses belajar yang telah dilalui. Pengulangan. Peningkatan. Perbaikan atas suatu kesalahan yang pernah terjadi. Dan yang terpenting, belajar sangat tergantung pada kemauan individu tersebut untuk terus meningkatkan kapasitasnya. Mau. Melakukan. Terus menerus hingga akhirnya menjadi kebiasaan. Hingga seorang atlet tersebut tidak pernah ingin berhenti belajar.

Afif Kurniawan (kanan) bersalaman dengan Fandi Eko Utomo dalam laga Persija vs Persebaya di Stadion PTIK, Jakarta beberapa waktu yang lalu (Satrio WCS For Persebaya)

Pro athlete, atau pemain sepak bola profesional harus mengenali betul kapasitas dalam diri. Pun jika belum, menjadi tugas kami di bidang psikologi untuk mengajak mereka lebih jauh megenali potensi dalam diri dan memanfaatkannya untuk menunjang karir. Yang terpenting adalah, seorang pemain sepakbola profesional harus memiliki dorongan untuk terus belajar. Ingat, penggunaan kata belajar disini sudah bukan lagi hanya soal akademis.

Dalam diskusi bersama beberapa pemain, saya takjub dan bersyukur bisa berada dalam tim dengan pemain yang memiliki kemauan yang kuat untuk meng-upgrade kapasitas dirinya. Caranya bermacam-macam. Ada yang berlatih sambil tetap menjalankan peran sebagai mahasiswa. Seperti Abu Rizal Maulana yang Selasa lalu menjadi sarjana.

Ada yang mengembangkan curiosity saat berlatih. Sang pemain selalu bertanya tentang apa yang perlu ditambah dari kemampuan diri ke pelatih. Meminta rekaman video-video permainan untuk evaluasi diri, berdiskusi dengan rekan satu tim di luar lapangan. Ada juga yang menambah sendiri porsi latihan, sering diskusi dengan dokter tim dan analis. Bahkan (jangan salah), ada salah satu pemain kita yang sudah memiliki gelar pre master degree (setara S2) dari universitas ternama di luar negeri!

Afif Kurniawan bersalaman dengan M Irfan usai laga Persebaya vs Persela di Stadion Gelora Bung Tomo pada Minggu (5/8) lalu. (Satrio WCS For Persebaya)

Dari sini kita perlu memahami bahwa tajuk diatas tentang pendidikan versus sepak bola, bukanlah suatu hal yang perlu kita perdebatkan. Melainkan harus didukung. Karena keduanya berjalan dalam rel yang berbeda, namun stasiun akhirnya sama: Masa Depan Yang Lebih Baik.

Akan ada pemain yang memaknai pendidikan dan belajar harus melalui proses belajar dalam sistem pendidikan (sekolah/kuliah), mari kita dukung. Ada juga yang mengembangkan kemampuan belajar di luar cara-cara formal, juga harus tetap kita dukung. Karena keduanya kembali pada pemaknaan pemain sendiri akan pendidikan.

Yang jelas, Persebaya berkomitmen untuk menjadi tim yang mendukung sepenuhnya pengembangan kapasitas diri. Karena Persebaya lebih dari sekedar Sepakbola. Kita adalah keluarga yang saling mendukung satu sama lain. Karena Kita Persebaya!

Catatan: Penulis adalah Staf Pelatih Bidang Psikologi/Psikolog Tim Persebaya

 

BERITA LAINNYA