Persebaya U-20 berhasil menjadi juara dalam kompetisi Elite Pro Academy U-20 di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Sabtu (12/10) lalu. Pembinaan usia muda menjadi salah satu kunci lolos licensing AFC(Persebaya)

Memahami Arti Profesional Lewat Lisensi

Oleh: Ram Surahman

Kabar membahagiakan itu, akhirnya datang juga. Persebaya dinyatakan lolos, mengantongi Club Licensing AFC 2019. Hebatnya, lolosnya Persebaya itu dengan status granted, lolos tanpa syarat.

Ini patut diapresiasi. Pasalnya, tahun lalu, Persebaya gagal lolos mendapatkan lisensi ini. Bahkan, tahun ini, beberapa klub yang kelihatan ”wah” di awal musim, ternyata gagal mendapatkan lisensi.

Bagi klub Liga 1, mendapatkan lisensi dari AFC adalah salah satu yang harus diburu. Ini menjadi pengakuan valid dari federasi sepakbola Asia, bahwa sebuah klub itu benar-benar dinyatakan profesional dan layak berkiprah di kompetisi internasional yang diselanggarakan AFC.

Lewat lisensi ini, AFC sejatinya mengajarkan pada kita semua, bagaimana sebuah klub dinyatakan profesional. Ini penting karena ukuran profesional kadang mirip gelang karet. Ditarik ulur sesukanya. Apalagi di dunia supporter.

Cap profesional kadang dipakai secara serampangan. Masih ingatkan? di awal musim lalu, manajemen Persebaya di-bully habis-habisan gara-gara tak merekrut pemain tertentu. Semburan caci maki langsung meledak. Dikatakan tak profesional, amatiran, kapitalis sampai dikatakan kere karena pelit dalam belanja pemain dan lain sebagainya.

Pendeknya, kala itu, profesional dipahami seberapa berani dan kuatnya klub dalam jor-joran membeli pemain. Parameter ini tak sepenuhnya salah. Menjadi hak setiap klub untuk merekrut siapa pun dengan nilai berapa pun. Semampunya. Setinggi-tingginya. Sepanjang, dikawal dengan kebijakan rasional bukan emosional.

Maksudnya? Jangan sampai jor-joran membeli pemain tapi tidak diimbangi dengan pola pengelolaan keuangan yang seimbang. Misalnya, saat kebutuhan belanja pemain menghabiskan sekian puluh miliar rupiah, klub dituntut membuat rencana bisnis pemasukan seperti apa untuk menutup beban pengeluaran tersebut. Dari semua sisi. Mulai sponsorship, merchandise, tiket penonton dan segala potensi pemasukan yang dimiliki klub.

Kenapa? Agar jangan sampai besar pasak dari tiang. Boros di belanja tapi seret di pemasukan.

Ini yang membuat klub tidak sehat. Risikonya, perjalanan klub bisa terhenti di tengah jalan. Atau, kalau pun bisa tetap eksis hingga akhir kompetisi, rawan disusupi praktek judi pengaturan skor.

Nah, ini salah satu aspek finance yang dinilai AFC. Setiap klub wajib mengisikan semua laporan keuangan tahun lalu, saat ini dan rencana tahun depan. Dan, semuanya harus ter-audit oleh akuntan independen. Tak bisa asal-asalan bikin laporan. Dari sini, akan bisa dibaca, ”usia” sebuah klub. Seberapa lama ketahanan yang dimiliki. Dua musim, tiga musim, lima musim atau selamanya.

Dan perlu diketahui, tim penilai AFC tak ada kompromi dalam soal ini. Jangan berharap mereka bisa dibeli. Penilaian ini dilakukan dengan standar tinggi.
Karena itu, keberhasilan Persebaya mengantongi lisensi AFC, dengan status granted, patut diapreasiasi. Ini menandakan bahwa pengelolaan keuangan yang dilakukan, sehat dan profesional. Bukan kaleng-kaleng. Nampak profesional di luar karena jor-joran dalam beli pemain namun keropos di dalam.

Ini hanya satu aspek yang dinilai. Masih ada empat kriteria yang juga dipelototi. Yakni sporting (pengelolaan tim usia muda), infrastructure (kelayakan stadion dan lapangan latihan), legal (kevalidan bahan hukum yang menaungi klub), dan personnel & administrative (personel dan manajerial). Tahun depan, AFC akan menambah satu lagi aspek yang dinilai yaknis bisnis dan digital.

Lalu, setelah ini apa? Pertanyaan ini, patut dikedepankan. Pasalnya, masih ada juga yang belum ngeh dan nyinyir menanggapi keberhasilan ini. Misal, mengatakan untuk apa dapat lisensi jika tiap pertandingan hasilnya seri? Sanggahan ini tak salah, juga tak sepenuhnya benar. Ya, keberhasilan dapatkan lisensi ini idealnya bisa diikuti dengan prestasi di lapangan. Tapi mengenyampingkan prestasi ini hanya gara-gara tim kerap menuai hasil seri, juga salah besar.

Yang terpenting, keberhasilan ini harus menjadi momentum di semua lini Persebaya. Manajemen telah membawa klub ini naik level. Tinggal bagaimana tim dan supporter mengimbangi. Di lapangan, tim Persebaya harus lebih menampakkan wajah profesional. Lebih garang dalam penampilan dan penuh ambisi menang. Biar tak diplesetkan, Per-Seri-Baya.

Pun demikian dengan suporter. Bisakah terus berubah menjadi lebih elegan dan profesional? Misalnya, tak lagi menyalakan flare, smoke bomb. dan hal-hal yang rawan denda saat mendukung Persebaya. Agak aneh memang. Satu sisi menghujat habis federasi, tapi di sisi lain berulah untuk memperkaya federasi lewat sanksi.

Oh ya, ini juga yang mengganggu. Nyanyian cemohan atas penampikan David da Silva dkk di lapangan. Seperti chant, Mainne koyok t***, dan chant lain yang justru tidak memberi tambahan spirit pemain di lapangan. Bisakah, itu dihentikan? Sungguh, itu sangat tidak mengenakkan. Apalagi, banyak bonek dan bonita cilik yang hadir di stadion.

Ini menjadi tantangan tersendiri. Tak mudah memang karena melibatkan banyak orang dengan isi kepala yang berbeda. Butuh waktu dan proses ke sana. Tetapi perubahan itu harus nyata dilakukan. Jika tidak, mungkin ada baiknya untuk sementara jadi bonek layar kaca. WANI! (ram surahman)

 

 

BERITA LAINNYA