Winger Persebaya asal Papua Osvaldo Haay (kanan) berselebrasi dengan membawa kertas bertuliskan “Say No to Rasicm” usai mencetak gol ke gawang Perseru Badak Lampung FC di Stadion Sumpah Pemuda, Way Halim, Bandar Lampung tadi malam. (Persebaya)

Surabaya, Rumah Kita Semua

Oleh: Ram Surahman

Miris juga melihat tudingan itu. Tetiba, kota tercinta ini jadi sorotan nasional dan bahkan internasional.

Muasalnya, adanya aksi pengepungan di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya. Entah bagaimana ceritanya, kejadian itu menggelinding, bertabur isu, dibumbui kabar hoaks menjadikan cerita seram; Surabaya Tak Aman Bagi Masyarakat Papua. Di lain kabar, menyebutkan ada aksi pengusiran warga Papua dari Surabaya.

Mereka yang menuding itu, pastilah coba mengaburkan fakta. Bagaimana bisa menuding kota ini tak bersahabat dengan masyarakat Papua. Yang ada, kota ini justru lekat dengan darah Papua. Tilik saja dengan klub kebanggaan kota ini, Persebaya Surabaya.

Nama-nama Papua cukup familiar di sana. Musim ini, ban kapten Persebaya disandang salah satu putra terbaik Papua, Ruben Karel Sanadi. Bahkan, empat putra Papua, Ricky Kayame, Fandry Imbiri, Nerius Alom, Samuel Reimas, turut berjasa besar membawa Persebaya ke pentas Kompetisi Liga 1 di negeri ini. Bahkan, trophy juara pun turut dipersembahkan di liga 2 tahun 2017.

Di masa lalu, Persebaya pernah lakukan aksi nyata menyelamatkan tim asal Papua, Persipura. Pada musim kompetisi Perserikatan 1987-1988, di suatu pertandingan, tepatnya Minggu, 21 Februari 1988, tanpa diduga Persebaya kalah 0-12 melawan Persipura di Stadion Gelora 10 November. Hasil yang jelas di luar nalar.

Insiden ini kemudian ramai disebut dengan istilah Sepak bola Gajah. Persebaya, sengaja mengalah besar agar Persipura bisa lolos ke babak delapan besar. Sekaligus memupus ambisi PSIS Semarang. Manajer Persebaya saat itu, Agil H Ali mengatakan, Persebaya sengaja mengalah untuk mengangkat sepak bola Papua, yang waktu itu memang tertinggal di banding tim-tim Jawa. Inilah wujud nyata, soal NKRI, jauh sebelum rame seperti sekarang ini.

Jadi, bagaimana bisa menuding kota ini sekeji itu?

Sebagai bagian kebanggaan dari kota ini, Persebaya juga dibangun dengan DNA keterbukaan dan kebersamaan. Siapa pun bisa berkiprah di klub ini, tanpa memandang suku, agama, ras dan asal daerah. Syaratnya, mudah saja; mampu, dipercaya dan miliki kapabilitas untuk itu.

Tak bisa dibayangkan, apa jadinya Persebaya bila sekat-sekat itu menjadi dasar kebijakan klub. Hanya boleh diperkuat oleh pemain dari daerah tertentu. Suku tertentu. Dari kampung tertentu. Pastilah, kita tak akan melihat wajah mini Indonesia di Persebaya.

Kota ini, diperjuangkan oleh para pahlawan dengan berlatar belakang beragam. Begitu juga dengan Persebaya. Kelahirannya pada 1927 dirancang sebagai wadah perjuangan oleh klub-klub sepak bola non Belanda; Soerabhaiasche Indosische Voetbal Bond (SIVB). Ini untuk menandingi klub-klub sepakbola Belanda yang tergabung dalam, Soerabhaiasche Voetbal Bond (SVB).

SIVB ini perkumpulan dari klub-klub lokal Surabaya waktu itu. Diantaranya Klub Selo, Rego, RKS, Olivio, Tjahaja Laoet, dan PS Hizboel Whatan. Pada masa pendudukan Jepang, anggota SIVB bertambah. Ada Maroeto, Tjahaja Moeda, Thiong Hoa, Alvaos, Jong Ambon (SVJA).

Pengurus awal SIVB ada nama Pamudji, R Sanoesi, Sidik, Askaboel, dan Radjiman Nasoetion. Mereka dipilih mewakili klub masing-masing. Hanya, data yang ditulis Jemmy Husny Mubarak untuk skripsi di Program Studi Ilmu Sejarah Unair tahun 1997 lalu, tak menyebut darimana asal atau kelahiran para pendiri SIVB yang menjadi cikal bakal Persebaya itu (sumber: tulisan Jusak Soenarjo, Kompasiana 15/6/2011). Bisa jadi mereka memang lahir di Surabaya, Lamongan, Medan, atau mungkin Malang. Entahlah.

Yang pasti, asal usul kelahiran memang tak penting. Spirit perjuangan dan persatuan lebih utama. Persebaya menyatukan semuanya. Dan, itu akan terus dijaga dan dipertahankan selamanya. Dulu, sekarang dan masa datang. Persebaya menjadi rumah besar bagi siapa pun untuk berkarya tanpa lihat darimana dia berasal dan dilahirkan.

Dari Aceh sampai Papua, semua diterima. Karena itulah kodrat manusia. Dia tak bisa memilih untuk dilahirkan dimana dan oleh orang tua siapa. Semua sudah digariskan dari sana.

Begitu juga, kelak akan mengabdi dimana. Tak penting.

Seperti kata Minke dalam dialognya di Film Bumi Manusia saat menolak untuk dijadikan Bupati di Boedjonegoro. ”Saya hanya ingin menjadi sosok yang bermanfaat bagi sesama di bumi manusia”.

Itulah kenapa rasialisme tak pernah mendapat tempat di Surabaya dan Persebaya. Selamanya. WANI (*)

Catatan: Tulisan adalah opini penulis

BERITA LAINNYA