Stadion Gelora Bung Tomo dipenuhi oleh puluhan ribu Bonek saat Persebaya beberapa waktu lalu (Persebaya)

Terus Berkhidmat Rawat Akal Sehat

Masa itu datang kembali. Sekali setahun diperingati. Hari lahir klub kebanggaan kita semua ini. Ya, 18 Juni 2020 lusa, Persebaya Surabaya menandai  93 tahun kiprahnya di pentas sepak bola negeri ini. Seperti biasa, ada sederet kesan, pesan dan harapan yang mengiringi.

Hanya saja, tahun ini, perayaan hari jadi datang di masa yang tak biasa. Saat negeri ini dan seantero dunia tengah dipusingkan dengan pagebluk Corona baru Covid-19. Corona, sejatinya tak semata menguji kita semua akan rasa kan93n Persebaya.  Lebih dari itu,  wabah ini  juga menguji  keteguhan  kita semua, seberapa kuat menegakkan akal sehat diantara opsi lanjut atau dihentikannya kompetisi.

Semua tahu,  Persebaya telah mengambil sikap, kompetisi dihentikan tanpa syarat. Keputusan  diambil dengan menempatkan kesehatan dan keselamatan sebagai panglima. Kenapa, karena  ini urusannya dengan nyawa. Sesuatu yang selama ini dengan tegas diproteksi FIFA.  Nah, jika di masa normal saja seperti itu, apalagi di tengah situasi pandemi seperti sekarang ini.

Dan, semua tahu, dimana posisi Surabaya dalam urusan penanganan Corona ini. Belum aman betul. Malah, masih berada pada tahap mengkhawatirkan yang ditandai dengan warna merah-hitam. Pun demikian  dengan beberapa daerah lain di Indonesia yang mayoritas masih  berada di zona merah.  So, jika di tengah situasi seperti ini, kompetisi dipaksakan jalan, lalu ditempatkan di mana akal sehat kita? 

Putusan ini pasti tak akan bulat diterima. Termasuk bagi pendukung Persebaya sendiri. Terutama mereka yang sudah mendem kangen.  Godaan untuk melanjutkan kompetisi pasti sulit ditampik. Apalagi bila keputusan itu disangkutpautkan dengan urusan nyali. Pasti. Darah akan mendidih. Sejak kapan, Arek Suroboyo ciut nyali dan takut mati? 

Pandemi ini memang  tidak untuk ditakuti. Tetapi, harus cerdas menyikapi. Urusan kelanjutan kompetisi, tak cukup hanya disandarkan pada emosi dan nyali. Ini yang harus dipahami. 

Jika  sebatas menuruti emosi, tentulah Persebaya tak  akan bisa sebesar dan sejauh ini melangkah. Sebelum ini. Di masa lalu.  Saat perjuangan mengembalikan Persebaya digelorakan,  pilihan seperti ini juga dialami. Menuruti emosi  dengan  tunduk pada skenario penguasa bola kala itu, atau berjuang di jalan sunyi.

Skenario penguasa  menawarkan kemewahan instan.  Tetapi, ada risiko nasib klub dikemudian hari tak ada jaminan dan berpotensi tergadaikan.

Semua tahu, jalan sunyi itu yang akhirnya  dilalui. Tak tanggung-tanggung, lima tahun. Selama itu, betapa lara dan nestapa menyertai. Kala itu, bukan karena ciut nyali. Justru nyali-lah yang jadi musabab Persebaya dan pendukungnya diasingkan. Nyali kita tak bisa diam, saat  fakta akan klub kebanggaan ini coba dikebiri.  Pun demikian saat teror, ancaman sampai iming-iming kenikmatan ditawarkan.  Semua ditolak demi menjaga kewarasan dan akal sehat. 

Jalan perjuangan ini layak untuk terus dikenang dan dirawat.   Bukan hanya di masa-masa pengembalian Persebaya saja.  Sebelum itu. Di masa-masa sulit yang pernah dilalui klub kebanggaan ini.  Yang dihelat oleh para pendahulu. Baik yang masih diberi umur maupun yang sudah tiada. 

Semuanya  tak sekedar menjadi rangkuman cerita. Lebih dari itu. Jalan sejarah itu yang menempa, membentuk Persebaya hingga seperti sekarang. Inilah modal terbesar melewati perkembangan jaman. Tak hanya untuk 93 tahun ini saja.  Ditapakan usia berikutnya dan seterusnya. Tetaplah Berjaya Persebaya. Terus berkhidmat  rawat akal sehat.  WANI! (ram surahman)

 

 

BERITA LAINNYA