Pejuang awayday dari komunitas Bonek Militan Luar Kota saat tiba di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung (7/3). Mereka adalah contoh baik awayday, mengutamakan keselamatan. Tidak ada pertandingan seharga nyawa. (Persebaya)

Layakkah Mereka Disebut Pejuang Estafetan?

Oleh: Ram Surahman

Cerita Bandung, pasti membuat siapa pun masygul. Di balik kemenangan yang ditorehkan Persebaya. Tersisa cerita yang menyesakkan. Korban jiwa kembali berjatuhan dengan berbagi sebab alasan.

Data sementara, ada tiga korban jiwa dan beberapa yang luka-luka. Tapi, bisa saja bertambah, karena terkadang laporan masuk secara tiba-tiba. Unprecditable.

Kenapa? Karena keberangkatan dan kepulangan mereka juga sulit dideteksi. Biasanya, lewat kelompok-kelompok kecil, 2-5 orang. Bergerak dengan modal seadanya. Bahkan tak sedikit yang tanpa modal.

Penting niat, yakin, dan nekat. Soal bagaimana nanti? Biar debu jalanan dan deru mesin truk yang akan menentukan. Tak hanya sampai ke kota tujuan tapi juga hidup-mati mereka. Karena itu, kendati pertandingan sudah lewati hari, cerita nestapa tak otomatis berhenti.

Begitulah ”ideology” yang dianut. Ada yang menyebut mereka sebagai pejuang estafetan. Ini merujuk pada pola mobilitas mereka. Yang harus berjuang hidup dan memburu angkutan, bergerak dari satu kota ke kota lain hingga sampai kota tujuan, dimana Persebaya berjuang.

Sebutan pejuang estafetan memang sangat seksi. (Seakan-akan) ada nilai heroik di sana. Ada cerita yang bisa dibanggakan. Bagaimana sampai ke kota tujuan dengan modal minim atau tanpa modal sekali pun.

Serunya, ngerinya dan cerita-cerita lainnya. Apalagi di era 4.0 seperti sekarang ini, dimana like dan comment menjadi Tuhan. Pejuang estafetan makin bertambah genitnya. Upload foto we-fie ataupun nge-Vlog selama perjalanan. Inilah mungkin yang menjadi sebab, pejuang estafetan menarik hati.

Tetapi, benarkah mereka layak disebut Pejuang Estafetan? Apalagi dikaitkan dengan Persebaya dan Bonek? Tunggu dulu.

Rasanya perlu kita telaah lebih jauh. Terutama buat mereka yang bergerak mendukung Persebaya tanpa modal sama sekali. Hidup menggelandang di kota orang. Jika sebatas itu oke saja. Hak setiap orang menggelandang atau yang lain. Yang jadi masalah bila sampai berbuat kriminal. Mencuri, menjarah , mengeroyok sopir truk, jebol pagar stadion, atau nyopet dompet atau handphone milik pendukung Persebaya lainnya.

Adakah yang seperti itu? Banyak. Terbaru, ya yang terjadi di Bandung kemarin. Laporan seperti itu banyak diterima.

Inilah yang membuat orang nirsimpati. Jika seperti itu, masih pantaskah disebut pejuang? Pejuang tak akan menjarah, mencuri, dan membuat publik antipati. Tapi pasti mereka tak akan peduli. Karena yang dipentingkan mereka hanya kepuasan diri. Yang penting, bagaimana perut terisi. Perjalanan bisa sampai. Jebol stadion. Berjingkrak dan pulang. Kembali menyerahkan nasib pada debu jalanan.

Bagi mereka, tak ada urusan dengan nama baik dan sebagainya. Gak ngurus Bonek bangun panti asuhan. Gak mau tahu dengan kerja keras mereka yang mengordinir keberangkatan, menjaga mati-matian agar nama Persebaya dan Bonek jangan tercoreng.

Celakanya, suka atau tidak, pada mereka nama Persebaya dan Bonek juga dikaitkan. Kenapa? Sederhana saja karena mereka memakai baju Bonek ataupun Persebaya. Alhasil, saat mereka berulah, cap buruk pun langsung menyembur. Opini terbentuk. Publik langsung gebyah uyah, menancapkan stigma dan sumpah serapah.

So, masihkah kita berdamai situasi ini? Mau sampai kapan jadi bulan-bulanan ulah mereka? Ayo, harus segera diakhiri situasi ini. Kelompok besar yang selama ini larut dalam kerja kebaikan tak boleh lagi diam. Ubah strategi pendekatan. Selama ini, menghadapi mereka, kita lebih banyak pasif. Baru bereaksi setelah kejadian. Sesal ataupun kecaman.

Sikap pasif ini, lebih disebabkan menjaga perasaan saja. Ewuh pakewuh dengan yang lain. Apalagi, kerap masih ada yang genit dengan retorika pembela: ”Jangan halangi, biarkan mereka mendukung Persebaya dengan cara mereka sendiri”.

Setuju saja. Tapi bila kemudian nyawa yang harus menjadi taruhannya, apakah dibiarkan saja? Sudahi retorika genit seperti ini. Apalagi bila tak mampu menawarkan solusi.

Sudahi estafetan. Ubah cara mendukung Persebaya. Dimulai dari diri sendiri. Ukur kemampuan. Tak perlu memaksakan bila memang tak memungkinkan. Masih banyak cara mendukung Persebaya tanpa harus menciptakan masalah. Jika tak cukup modal, nyalimu juga tak berkurang walau hanya bisa menyaksikan di depan TV. Itu malah lebih baik bagi semuanya. Saudara, orang tua, keluarga dan semuanya. Setidaknya satu nyawa tak dibiarkan menggantung di jalanan.

Gerakan penyadaran ini harus dibikin membesar. Digerakkan bersama-sama semua stakeholder Persebaya. Bonek, Klub, Pemerintah, dan Polri. Bagaimana membatasi ruang gerak pelaku estafetan. Sembari itu, dipermudah jalan mendukung away Persebaya.

Kita, punya pengalaman dan sudah teruji dalam soal ini. Bonek lah supporter pertama yang mengenalkan tret... tet...tet…yang digerakkan Pak Dahlan Iskan dengan Jawa Pos nya waktu itu. Wali kota Surabaya, Bu Risma, juga pernah membuat torehan manis dalam urusan away Persebaya. Saya masih ingat, beliau yang menyiapkan puluhan armada bus buat Bonek saat Persebaya away melawan Bali Dewata di Bali pada masa IPL lalu.

Semua pengalaman itu adalah modal besar mengurai masalah ini. Apalagi, sekarang kita juga punya Ibu Gubernur yang menaruh perhatian pada sepakbola. Tinggal, mengatur waktu, duduk bersama merumuskan langkah taktis nan mengena. Ini bukan untuk Bonek dan Persebaya. Tetapi demi sepakbola Surabaya, Jatim dan Indonesia. Ayo, tunggu apalagi? WANI! (*)

BERITA LAINNYA