Candra Wahyudi bersama tim Persebaya saat menjadi juara Liga 2 2017. (Persebaya)

Candra Wahyudi Pengkhianat Persebaya?

Oleh : H. Moch. CH Faried
Manajer Persebaya era perjuangan
Asisten Manajer Persebaya 2017

Kendati tak lagi berada dijajaran manajemen Persebaya, saya tetap intens mengikuti perjalanan klub kebanggaan ini. Jika lagi di Surabaya, saya pasti menyaksikan langsung Persebaya bertandingan di Stadion Gelora Bung Tomo.

Kadang sendiri, berdua sama anak atau tak jarang, istri pun menemani. Kalaupun pas tak bisa ke stadion, dimanapun, dan sedang aktifitas apapun, saya sempatkan menyaksikan perjuangan areak-arek Persebaya lewat layar kaca.


Pun demikian saat Persebaya bertanding lawan Arema Malang, Kamis (15/8). Sama seperti pecinta Persebaya lain, hasil akhir membuat remuk redam. Ati rasane ambyar. Lha, kok ya pas, malam setelah kekalahan Persebaya, Indosiar juga menayangkan live konser Didi Kempot, The Lord of Broken Heart. Pas bener, gambarkan suasana hati saya.

Malam itu, tidur tak nyenyak. Masih tak terima dengan kekalahan menyolok itu. Tetapi, hati kecil saya terusik kala melihat keriuhan lini masa. Rame-rame menghujat #candraout. Dari yang saya baca, rekan saya ini, Candra Wahyudi disebut pengkhianat. Fotonya di masa lalu, yang memakai penutup kepala bertuliskan Arema menjadi dasar tuduhan itu.

Foto itu, yang diambil pada tahun 2008, menjadi pembenar untuk jadi dasar hujatan, cacian dan makian. Yang makin bikin mengelus dada, KTP yang menjadi hal paling pribadi, ikutan riwa-riwi di lini masa. Masya Allah.
Itu pula yang membuat saya memberanikan diri, memberi kesaksian sosok Mas Candra Wahyudi ini. Apalagi ini menyangkut akan loyalitasnnya yang dipertanyakan. Mohon dicatat, Mas Candra ini menjadi sosok penting dibalik Persebaya bisa eksis hingga seperti sekarang ini. Bagaimana bisa? Ijinkan, saya berkilas balik.

Tahun 2016 lalu, saat awal-awal Persebaya merintis jalan kembali ke Kompetisi PSSI, manajemen lama (Saya, Pak Cholid, Pak Saleh Hanifah, Pak Champ, Ram dll) pusing tujuh keliling memikirkan masa depan Persebaya. Awalnya, kami cukup optimistis, pasca memenangkan gugatan melawan PT MMIB di Pengadilan Negeri Surabaya. Kemenangan itu, membuai kami, akan memudahkan jalan mendapatkan investor pengelola Persebaya.
Beberapa nama sempat muncul ke permukaan. Ada yang menghubungi atau kadang kami yang proaktif berkomunikasi. Saya tak bisa sebutkan nama. Tapi beberapa nama masuk list. Hasilnya, ternyata zonk. Gak seindah seperti yang diharapkan.

Kami sempat limbung. Secercah harapan muncul saat ada selentingan kabar, Presiden Joko Widodo ingin agar Persebaya bisa kembali ke kompetisi. Infonya, teman-teman kepolisian yang diminta untuk mengurusi proses pengembalian itu. Informasi tersebut menemui kebenarannya, saat utusan Polda Jatim mengajak bertemu. Beberapa kali, kami bertemu di Mapolda Jatim. Bahkan dengan Kapolda langsung. Waktu itu, masih di jabat oleh Irjen Anton Setiadji.
Seingat saya, sedikitnya enam kali pertemuan dilakukan. Bahkan, sudah sampai pada pembahasan draft kerjasama.

Waktu itu, tim legal yang dipimpin Pak Kardi Suwito, Pak Anjar intens mengawal perjanjian kerjasama itu. Pada akhirnya, jalan ini pupus setelah pertemuan terakhir di Mapolda Jatim. Saya lupa tanggalnya. Tapi waktu itu, saya hadir bersama Pak Cholid, Bang Saleh (Hanifah), Pak Kardi, Pak Anjar, dan Ram (Surahman). Selain Pak Kapolda, pertemuan itu juga dihadiri Pak Djoko Driyono (Sekjen PSSI saat itu), Pak Gede Widiade, Pak Condro Kirono (Korlantas Polri), Yeyen Tumena dan beberapa nama lain. Poinnya, kerja sama tak bisa dilanjutkan. Hemat kami, ada hal prinsip yang tak bisa ditawar.

Kami pulang dari Mapolda. Gak tahu harus berbuat apa. Panik? Jelas. Apalagi, ada batas pendaftaran tim untuk ikut Liga. Belum lagi, ada tunggakan musim lalu yang harus diberesi sebesar Rp 7,5 miliar. Jika semua tak teratasi, maka sia-sia sudah perjuangan selama ini. Mulai aksi gruduk Jakarta, Bandung yang dilakukan supporter. Termasuk perjuangan manajemen di meja pengadilan dan pertemuan.

Semuanya, akan sia-sia bila Persebaya tak bisa ikut kompetisi.
Sebetulnya, ada beberapa investor yang menawari untuk masuk. Hanya saja, syaratnya dibeli dan menjadi pemilik penuh. Ini , tak mungkin kami terima. Pasalnya, siapa yang menjamin kelangsungan Persebaya dengan model seperti ini.

Di tengah menipisnya harapan, saya minta tolong saudara Dio, wartawan olahraga Jawa Pos yang selama ini intens meliput Persebaya sejak jaman perjuangan. Lewat Dio ini, kami bisa terhubung dengan Mas Candra. Saya mewakili teman-teman, meminta tolong padanya untuk mau merayu dan meminta Mas Azrul Ananda memegang Persebaya.

Saya masih ingat, bulan September 2016, kami diterima di Graha Pena lantai 4. Itu pertemuan pertama yang selanjutnya dimatangkan dengan beberapa kali pertemuan hingga Mas Azrul mau memegang Persebaya hingga saat ini.

Karena itu, saya menjadi miris saat ada yang menghujat, ataupun menyebut Mas Candra, ini sebagai pengkhianat. Lha, kalau memang dia seperti itu, ngapaian dulu turut membantu menghubungkan dengan Mas Azrul dan meyakinkannya untuk pegang Persebaya? Kalau memang dia pengkhianat, biarkan saja, saya dan teman-teman saat itu sekarat, memikirkan masa depan Persebaya.

Atau, kalau memang hati Mas Candra sebusuk itu, kenapa juga dia turut berjuang mati-matian mengembalikan Persebaya kembali ke Liga 1 dari Liga 2? Bawa juara lagi. Saya menjadi saksi langsung, akan dedikasi dan loyalitasnya waktu itu. Kebetulan, saya dipercaya menjadi Asisten Manajer Persebaya di Liga 2.


Saya paham, cerita di atas mungkin tak sepenuhnya setuju. Tetapi, itu adalah jalan sejarah yang memang dilalui Persebaya. Suka atau tidak, seperti itu faktanya. Saya, sebetulnya sudah menikmati hidup seperti sekarang ini. Tak lagi terlibat langsung dalam mengelola Persebaya.

Hanya saja, saat Mas Candra diperlakukan seperti itu, saya tak boleh tinggal diam. Mungkin testimoni ini tak semuanya senang. Tapi, bukankah sepahit apapun, kebenaran harus disampaikan?

Dan, itulah yang ingin saya katakan. Tulisan ini bukan untuk membela personal Candra. Tetapi, semata untuk menyampaikan kenyataan yang sebenarnya. Dosa jika saya diam saja. (*)

 

*) Tulisan ini adalah opini penulis 

 

 

BERITA LAINNYA